Pertukaran Visi Antar Generasi
December 24, 2023Gender Equality is Everyone’s Agenda
December 24, 2023Jumat (10/11) IBCWE menggelar diskusi tentang peran ayah (baca: laki-laki) dalam mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan melalui berbagai bentuk implementasi di lingkup keluarga. Kegiatan ini tidak lepas dari upaya menggali informasi untuk melihat ada tidaknya tren perubahan peran ayah dalam keluarga seiring perbedaan generasi dari mereka yang melakoni peran tersebut.
* * * * *
Acara diawali dengan pemutaran “The Impossible Dream”, film animasi yang diproduksi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa atau United Nations (UN). Dirilis lebih dari tiga dekade lalu, film menggambarkan isu-isu yang relevan dengan kondisi peran suami dan istri di kelas pekerja perkotaan seperti beban pekerjaan rumah tangga (unpaid care works) perempuan yang lebih besar dan kesenjangan penghasilan (gender pay gap).
Setelah menonton dilanjutkan dengan bincang-bincang yang dipandu oleh Direktur Eksekutif IBCWE Dini Widiastuti. “AIPEG dalam penelitiannya mengatakan 40% perempuan yang menikah, kemudian drop out dari pekerjaan. […] ada yang masuk ke lapangan informal seperti buka bisnis, e-commerce tetapi sangat sedikit (jumlahnya). Artinya, ada pekerja-pekerja perempuan yang keluar sama sekali, tidak berkontribusi secara ekonomi.”Ujar Dini menyampaikan latar belakang diadakannya diskusi. AIPEG adalah Australia-Indonesia Partnership Economic Government yang merupakan badan kerja sama pemerintahan Indonesia dan Australia dengan tujuan meningkatkan tata kelola perekonomian Indonesia. Dini menambahkan bahwa kegiatan ini juga berupaya mengungkap ada tidaknya ketersediaan pilihan sebagai bentuk dukungan bagi perempuan yang ingin berkarier secara formal di kantor atau informal semisal membangun e-commerce.
Perbedaan pandangan dalam konsep bagi peran istri dan suami dalam rumah tangga antar generasi terlihat jelas sepanjang alur diskusi. “Kebetulan saya pernah merasakan hidup di Amerika jadi dad parenting sudah biasa. Saya paham beratnya istri menyusui dan kelelahan sampai tertidur sudah capek banget, jadi saya harus take over, memasak mencuci harus saya juga.” Ujar Wijaya Suhendra (35) mengungkap bentuk berbagi peran di rumah. “Kalau saya, (istri) boleh berkerja tapi di rumah. Artinya, dia tidak boleh (bekerja) yang keluar rumah. Saya beri kebebasan tapi bukan untuk bekerja di luar rumah. Dan akhirnya keputusannya Ibu (istri) jadi ibu rumah tangga.” Tutur Yan Siregar (60) menjelaskan berbagi peran dalam 41 tahun usia pernikahannya.
Bagi partisipan yang belum menikah, kegiatan ini adalah upaya menambah wawasan seputar pergantian peran. “Bagaimana kalua istri yang bekerja dan suaminya yang di rumah. Terlepas dari kata norma dan keluarga bahwa suami harus jadi tulang punggung keluarga. Ada yang salah nggak dengan pilihan ini? Kalau saya tidak ada masalah.”Margaretha menyampaikan pendapatnya. Sementara Tirta, partisipan lain dan belum menikah, menegaskan poin penting yang ia petik dari perbincangan, “Kalau saya akan menikah, seperti yang saya dengar dari Pak Yan dan yang lain, fondasi awal kesepakatan sudah ditentukan. Misalnya soal bekerja atau tidak bekerja. Kalau saya, kalau calon istri saya mau bekerja saya nggak masalah.”Tegas Tirta.
Menjelang akhir perbincangan, Dini menyampaikan salah satu kesimpulan dari perbincangan. “Intinya adalah saling membantu antara suami dan istri dan memberikan pilihan. Pilihan bukan hanya pilihan sendiri tapi juga untuk keluarga mana yang lebih baik, karena memberdayakan bukan berarti menginjak laki-laki.” Ulas Dini. Selain itu adalah pentingnya komunikasi oleh pasangan sejak awal membina rumah tangga untuk menyepakati konsep dan bentuk berbagi peran sebagai landasan masa depan anak-anak dan rumah tangga. Jika komitmen seperti ini secara konsisten dilakukan setiap pasangan di setiap negara, bukan mustahil bila waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetaraan gender secara global akan kurang dari 217 tahun seperti prediksi Global Gender Gap Report 2017.