
Dari Childcare ke Eldercare: Memperluas Tanggung Jawab Perusahaan terhadap Kesejahteraan Karyawan
Juni 29, 2025“Laki-laki tidak bercerita”—mungkin kita tak asing dengan kalimat candaan tersebut. Kalimat tersebut sempat berseliweran di lini masa media sosial untuk menunjukkan bagaimana laki-laki pada akhirnya memilih mekanisme koping dengan memendam daripada menjadi membagikan tantangan-tantangan yang dihadapinya. Candaan tersebut tak butuh waktu lama untuk menjadi viral. Kesamaan frekuensi dengan nilai-nilai maskulinitas di masyarakat ditambah dengan berbagai timpalan aksi-aksi ‘lucu’ yang ditempuh laki-laki sebagai pengganti ‘bercerita’ tersebut membuat candaan tersebut dengan cepat diterima dan menyebar.
Mekanisme koping ‘laki-laki tidak bercerita’ ataupun nilai-nilai maskulinitas serupa tidak sustainable. Di level personal, semakin seseorang menahan emosi negatifnya, semakin besar dampak negatif yang ia rasakan mulai dari, stress, depresi, hingga kesulitan dalam bersosialisasi (Srivastava, 2009). Selain itu, pandangan bahwa ‘semakin tabah seorang laki-laki maka semakin hebat ia di mata masyarakat’ hanya menormalisasi gap komunikasi yang dimiliki laki-laki yang justru menghambat penyelesaian berbagai tantangan sehari-hari, khususnya dalam konteks di tempat kerja.
Maka dari itu, kita, sebagai laki-laki, nampaknya perlu meninjau ulang nilai-nilai maskulinitas kita agar dapat berfungsi dengan lebih baik. Maskulinitas konvensional menuntut laki-laki menjadi pihak superior dan dominan. Hal ini mungkin tak lagi relevan dengan semakin kompleksnya tantangan sosial dan profesional yang menuntut integrasi dan kolaborasi dalam menyelesaikannya. Untuk itu, kita perlu mulai menerapkan nilai-nilai maskulinitas yang lebih baru dengan mengutamakan kesetaraan, keterbukaan komunikasi, dan interseksionalitas.
Maskulinitas konvensional yang tak lagi relevan
Maskulinitas merujuk pada serangkaian atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan seseorang yang menggunakan identitas kelamin laki-laki (Shenhan, 2018). Maskulinitas juga berkembang dipengaruhi oleh nilai dan norma yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Berkelindannya dua hal tersebut membuat adanya sebuah ekspektasi ideal terhadap bagaimana laki-laki menunjukkan dirinya ke publik.
Dalam artikel ini, nilai-nilai maskulinitas yang banyak diadopsi di masyarakat akan disebut sebagai maskulinitas konvensional. Konsep maskulinitas ini mengekspektasikan laki-laki untuk menjadi pribadi yang tangguh, tabah, mandiri, bertekad kuat, dan mampu menjadi pemimpin yang handal (Degue, 2023). Selain itu, Connel dan Messerschmidt (2005) menunjukkan bahwa model maskulinitas ini juga ditandai dengan penekanan pada hubungan yang hierarkis antara laki-laki maskulin ideal dengan kelompok lain seperti perempuan dan penggunaan tindakan-tindakan dominan dan koersif untuk menjaga tatanan hubungan tersebut.
Dalam konteks lingkungan kerja, ketika nilai maskulinitas konvensional tersebut dibawa, hal tersebut dapat menyebabkan lingkungan kerja menjadi hostile (tegang). Laporan Deloitte memperlihatkan dampak maskulinitas ke tempat kerja dapat membuat seperti, buruknya budaya kolaborasi, kompetisi yang tidak sehat, dan terhambatnya komunikasi antar sesama pekerja (Arthrell, 2019). Lebih jauh, artikel dari Reimagine Gender memperlihatkan maskulinitas juga menciptakan bias-bias di dalam pengambilan keputusan karena nilai-nilai yang menempatkan laki-laki dalam posisi mendominasi dan mengesampingkan kelompok-kelompok lain seperti perempuan.
Persoalan ini juga dapat menimbulkan dampak negatif untuk reputasi dan performa bisnis perusahaan. Sebuah studi global tentang dampak agresi di tempat kerja yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Psychology menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang tegang dapat menghambat kolaborasi dan kerja sama yang bermakna, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya produktivitas, tingginya angka pergantian karyawan, serta terhambatnya regenerasi kepemimpinan (Zhang, et al. 2025). Sebagai aset terbesar dari sebuah perusahaan, pekerja yang produktif menjadi penting. Tanpa lingkungan yang aman dan inklusif untuk mendukung pekerja dapat menghasilkan pekerjaan terbaiknya, produktivitas pekerja menjadi taruhannya.
Maskulinitas kontemporer sebagai alternatif
Versi lain dari nilai-nilai maskulinitas konvensional sebenarnya sudah ada. Versi maskulinitas baru ini, yang kemudian akan kita sebut sebagai maskulinitas kontemporer, mengajak laki-laki untuk mendefinisikan ulang peran mereka dengan lebih setara, mengedepankan kolaborasi, empati, dan penghargaan terhadap kontribusi perempuan (Connor, et al., 2021). Berbeda dengan maskulinitas tradisional yang mendasarkan diri pada kendali dan kekuatan fisik, maskulinitas kontemporer lebih menekankan nilai-nilai yang memberdayakan semua pihak. Laki-laki yang mengadopsi pandangan ini tidak merasa terancam oleh kemampuan perempuan, melainkan melihatnya sebagai kesempatan untuk saling melengkapi dan bekerja bersama dalam membangun masyarakat yang inklusif.
Connor et al. (2021) mengidentifikasi empat karakteristik dari maskulinitas kontemporer, yakni:
- Inklusivitas
Maskulinitas kontemporer merayakan berbagai bentuk maskulinitas (sikap, karakter, dan perilaku) yang dimiliki orang dengan identitas kelamin laki-laki. Tak ada lagi definisi tunggal mengenai maskulinitas dan tak ada lagi pengasingan terhadap laki-laki ataupun perempuan yang tak memiliki karakteristik maskulin. Semua orang dapat mengekspresikan maskulinitas dengan aman.
- Kedekatan emosional
Jika maskulinitas melihat laki-laki harus tabah dan tegar terhadap semua kesulitan, maka maskulinitas kontemporer justru memberikan ruang untuk laki-laki mengungkapkan emosi-emosi yang dimilikinya. Laki-laki juga berhak atas ruang aman untuk menjadi rentan dan terbuka atas semua tantangan yang dimilikinya.
- Gestur fisik
Maskulinitas kontemporer terbuka terhadap berbagai gestur-gestur emosional yang selama ini dilihat sebagai ekspresi yang feminin. Nilai-nilai di maskulinitas ini mengarahkan laki-laki untuk tidak malu ataupun risih dengan berbagai sentuhan fisik yang sama-sama disepakati sebelumnya sebagai bentuk ekspresi emosi.
- Perlawanan
Maskulinitas kontemporer juga melawan berbagai bentuk stigma terhadap laki-laki yang menunjukan sikap atau perilaku yang dianggap feminin. Selain itu, maskulinitas kontemporer juga menolak berbagai bentuk kekerasan yang selama ini diwajarkan atas laki-laki yang berhak atas dominasi terhadap kelompok-kelompok lainnya.
Proses laki-laki mengadopsi nilai maskulinitas yang lebih setara bukanlah hal yang mudah, terutama karena banyak dari kita yang tumbuh dalam lingkungan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional tentang peran gender laki-laki dan perempuan. Namun, perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, seperti refleksi diri dan keberanian untuk mendengarkan perspektif lain. Ketika laki-laki mulai mendefinisikan ulang apa arti kekuatan, keberanian, dan tanggung jawab tanpa merasa terikat pada standar maskulinitas yang kaku, laki-laki akan lebih siap menghadapi tantangan masa depan dengan lebih resilien.
Dalam konteks tempat kerja, Deloitte dalam laporannya juga mencatat bahwa pemimpin bisnis juga dapat berkontribusi pada perubahan menuju maskulinitas kontemporer melalui beberapa pendekatan, seperti:
- Menghentikan perayaan terhadap dominasi dengan tidak lagi merayakan berbagai bentuk-bentuk dominasi dan ketangguhan yang tidak sustain, seperti mindset “selalu siap sedia”.
- Membuka ruang untuk refleksi dengan tidak hanya mengutamakan produktivitas, tetapi juga pengembangan personal.
- Menciptakan ruang aman dengan secara aktif mengidentifikasi dan menangani tantangan dalam menciptakan ruang aman dan inklusif di tempat kerja.
Transformasi maskulinitas ini bukan sekadar membantu perempuan atau kelompok yang rentan agar tidak lagi mengalami diskriminasi, tetapi juga agar laki-laki dapat turut serta dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Laki-laki dengan nilai-nilai maskulinitas baru tidak hanya menjadi lebih terbuka terhadap perubahan, tetapi juga lebih mampu beradaptasi, bekerja sama, dan berkontribusi secara positif dalam masyarakat.
Untuk itu, mulailah untuk bercerita, laki-laki. Berlatihlah untuk mengungkapkan dan belajarlah juga untuk lebih banyak mendengarkan. Mari menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung untuk semua.
Ditulis oleh Andri, Brand Communications IBCWE
Referensi:
Arthrell, E., Lawrence, C., Calamai, J. B., & Morris, A. (2019). The design of everyday men. https://www2.deloitte.com/la/en/pages/human-capital/articles/thedesignofeverydaymen.html
Connell, R. W., & Messerschmidt, J. W. (2005). Hegemonic masculinity: Rethinking the concept. Gender & Society, 19(6), 829-859. https://doi.org/10.1177/0891243205278639
Connor, S., Edvardsson, K., Fisher, C., & Spelten, E. (2021). Perceptions and interpretation of contemporary masculinities in Western culture: A systematic review. American Journal of Men’s Health, 15(6), https://doi.org/10.1177/15579883211061009
DeGue, S., Singleton, R., & Kearns, M. (2023). A qualitative analysis of beliefs about masculinity and gender socialization among US mothers and fathers of school-age boys. Psychology of Men & Masculinity, 25(2), 152-164. https://doi.org/10.1037/men0000450
Men’s Minds Matter. (n.d.). Masculinity and masculine norms. https://www.mensmindsmatter.org/masculinity-and-masculine-norms/
Shehan, C. L. (2018). Gale researcher guide for: The continuing significance of gender (pp. 1–5). Gale, Cengage Learning.
Srivastava, S., Tamir, M., McGonigal, K. M., John, O. P., & Gross, J. J. (2009). The social costs of emotional suppression: A prospective study of the transition to college. Journal of Personality and Social Psychology, 96(4), 883-897. https://doi.org/10.1037/a0014755
Reimagine Gender. (n.d.). Masculinity at work.
https://www.reimaginegender.org/insights/masculinity-at-work