
Ring the Bell for Gender Equality 2025 Serukan Pentingnya Mendukung Hak Perempuan untuk Mencapai Work-Life Integration
Maret 8, 2025“Alangkah bahagianya menjadi seorang ibu yang boleh bekerja dan tetap mengasuh anak-anaknya tanpa rasa bersalah.”
Jika Kartini hidup hari ini, mungkin itulah cita-cita yang ia perjuangkan: kesetaraan yang dimulai dari ruang kerja dan rumah.
Hari Kartini kerap kita rayakan dengan kebaya, pidato seremonial, atau potret para ibu pekerja yang “berhasil” menjalankan peran ganda. Tapi esensi perjuangan Kartini bukan sekadar selebrasi simbolik. Ia adalah panggilan untuk menuntaskan pekerjaan rumah besar bangsa ini—yakni, menciptakan ekosistem yang adil bagi perempuan untuk bisa bekerja dan tetap menjadi ibu.
Perempuan Masih Tertinggal di Dunia Kerja
Data BPS Februari 2024 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan hanya 55,41%, tertinggal jauh dari laki-laki yang mencapai 84,02%. Sementara itu, hanya 36,32% perempuan bekerja di sektor formal, dibandingkan dengan 45,81% laki-laki.
Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada jutaan perempuan Indonesia—terutama di sektor informal dan industri padat karya—yang terpaksa keluar dari pekerjaan setelah memiliki anak. Banyak yang menghadapi beban ganda tanpa dukungan sistemik: tak ada penitipan anak terjangkau, jam kerja tidak fleksibel, atau lingkungan kerja yang tidak ramah ibu.
Childcare: Penentu Partisipasi Kerja Perempuan
Kartini memperjuangkan akses perempuan terhadap pendidikan sebagai jalan menuju kemerdekaan berpikir. Tapi zaman telah berubah. Kini, kemerdekaan itu juga ditentukan oleh akses terhadap layanan pengasuhan anak.
Tanpa sistem childcare yang terjangkau dan berkualitas, perempuan akan terus tertahan di rumah atau bekerja dalam kondisi rentan. Inilah mengapa Employer-Supported Childcare (ESC) menjadi salah satu strategi penting dalam mendukung perempuan tetap berdaya secara ekonomi tanpa meninggalkan peran pengasuhan.
Employer-Supported Childcare: Investasi, Bukan Beban
ESC dapat hadir dalam bentuk daycare di tempat kerja, subsidi biaya penitipan anak, fleksibilitas kerja, hingga kerja sama perusahaan dengan penyedia layanan pengasuhan. Sejumlah perusahaan di Indonesia telah menerapkan inisiatif ini, dan hasilnya menggembirakan: retensi karyawan meningkat, produktivitas stabil, dan loyalitas pekerja tumbuh.
Dalam konteks persaingan tenaga kerja saat ini, ESC seharusnya dilihat sebagai investasi strategis—bukan beban biaya. Dukungan terhadap ibu pekerja adalah bentuk tanggung jawab sosial sekaligus upaya membangun SDM unggul sejak dini.
Peran Negara dan Swasta: Kartini Butuh Kawan
UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru saja disahkan menjadi angin segar. Namun, agar berdampak nyata, perlu kebijakan lanjutan:
- Pemerintah perlu memberi insentif fiskal bagi perusahaan yang menerapkan ESC.
- Pemerintah daerah bisa mengembangkan layanan childcare komunitas yang terjangkau.
- Perluasan akses ESC juga harus menyasar pekerja sektor informal dan industri padat karya melalui skema subsidi silang atau kemitraan.
Sektor swasta punya peran krusial: menciptakan tempat kerja inklusif yang menyadari bahwa kesejahteraan ibu adalah kunci keberlanjutan bisnis.
Menghidupkan Semangat Kartini Hari Ini
Lebih dari seabad lalu, Kartini menulis tentang mimpi perempuan untuk bisa berkembang tanpa dibatasi oleh kodrat. Kini, perempuan Indonesia masih harus memperjuangkan hak yang paling dasar: bekerja tanpa harus mengorbankan anak-anaknya.
Di Hari Kartini ini, mari kita hidupkan kembali semangat emansipasi: dengan mendesak negara dan sektor swasta untuk membangun ekosistem pengasuhan anak yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Karena hanya dengan itulah, mimpi Kartini akan benar-benar hidup dalam kenyataan ibu pekerja hari ini. (RA)
Written by Riesta Aldila, Project Officer for Employer Supported Childcare