Tanya Jawab; Bagaimana Kontribusi Bisnis Dalam Pencapaian Sustainable Development Goals No. 5?
Desember 24, 2023Impostor Syndrome – Merasa Tidak Aman Karena Norma Sosial Gender
Desember 24, 2023Indonesia memiliki beberapa tokoh jurnalis perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan sebelum merdeka. Kala itu, Indonesia masih sangat kental dengan sistem patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama baik pada ranah publik maupun domestik, sedangkan perempuan diidealkan sebagai sosok yang lemah lembut dan penurut.
Perjuangan hak-hak perempuan melalui dunia jurnalistik, dimulai oleh Roehana Koeddoes pada awal tahun 1900.
Roehana Koeddoes
Jurnalis perempuan pertama di Indonesia dan merupakan salah satu sosok pejuang Indonesia yang banyak berjasa di bidang pendidikan, jurnalistik, dan politik.
Karier jurnalisme Roehana dimulai pada tahun 1908, ketika beliau menjadi kontributor di Poetri Hindia, surat kabar perempuan pertama di Batavia. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1912, Roehana menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Minangkabau, Soenting Melajoe. Surat kabar yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semua perempuan.
Sebagai pemimpin redaksi, sikap Roehana Koeddoes terlihat jelas melalui arah kebijakan yang selalu mengarah pada artikulasi perjuangan hak-hak kaum perempuan. Atas partisipasinya dalam memperjuangkan hak perempuan di bidang jurnalistik, pendidikan, dan politik, Roehana diberikan penghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia oleh Menteri Penerangan Harmoko Pada tanggal 9 Februari 1987 dan pada tanggal 8 September 2019, Roehana Koeddoes ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo.
Ani Idrus
Salah satu jurnalis perempuan paling berpengaruh di era pergerakan nasional.
Ani Idrus mulai gemar menulis dan mengirimkan artikel ke beberapa surat kabar atau majalah, pada tahun 1930. Tiga tahun kemudian, Ani Idrus mulai melakoni kerja-kerja jurnalistik secara lebih profesional. Ia membantu Majalah Politik Penyedar yang bernaung di bawah penerbitan surat kabar Sinar Deli, salah satu koran terbesar di Sumatera Utara kala itu.
Tahun 1938, Ani Idrus dan suaminya menerbitkan majalah bernama Seruan Kita namun media ini tidak berumur panjang. Semangat Ani Idrus tidak pupus begitu saja, pada tahun 1947, beliau bersama suaminya kembali meluncurkan surat kabar harian bernama Waspada. Harian Waspada dengan tegas menyatakan diri sebagai pendukung Republik Indonesia, sehingga sempat dibredel oleh Belanda pada masa revolusi Fisik (1945-1949).
Tahun 1949, cita-cita Ani Idrus menerbitkan media khusus perempuan akhirnya terwujud. Ani Idrus menerbitkan majalah Dunia Wanita.
Tahun 1951, Ani Idrus memprakarsai berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Medan, serta menjadi ketuanya. Dengan kepemimpinannya, PWI telah berhasil menjadi pelopor emansipasi perempuan di Sumatera Utara.
Pada tahun 1953, Ani Idrus mulai meliput ke luar negeri. Pengalaman pertamanya dimulai di Jepang untuk meliput perundingan pembayaran ganti-rugi akibat perang antara pemerintah RI dan pemerintah Jepang.
Di tahun 1956, Ani Idrus semakin sering ditugaskan melakukan liputan internasional lainnya ke China, Hongkong, Thailand, Filipina, Sri Lanka, Mesir, Turki, Belanda, Italia, Inggris, hingga Amerika Serikat, termasuk meliputi proses penyerahan Irian Barat atau Papua kepada RI.
1959, Mendirikan Yayasan Balai Wartawan cabang Medan dan menjadi ketua. Selain itu, ia juga menjabat wakil ketua di Akademi Pers Indonesia.
S.K Trimurti
Seorang jurnalis, penulis, serta guru di zaman gerakan kemerdekaan Indonesia.
S.K Trimurti awalnya mengelak ketika Presiden Soekarno menyuruhnya menulis sebuah artikel di surat kabar Fikiran Rakjat, media corong Partai Indonesia (Partindo) karena menganggap dirinya masih terlalu muda dan belum punya pengalaman menulis.
Namun setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1933, Trimurti akhirnya membuat tulisan pertamanya dan dimuat di Fikiran Rakjat. Artikelnya berupa gagasan tentang semangat kemerdekaan yang dibawakan dengan latar belakang sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.
Pada tahun 1934, Partindo dan sejumlah media seperti hilang arah setelah Presiden Soekarno dibuang ke Ende Flores. Semangat Trimurti tidak berhenti begitu saja, Trimurti tetap mencari cara untuk mengasah pengalamannya di bidang pers, hingga Trimurti menemukan surat kabar Berdjoeang yang terbit di Surabaya dan mulai mengirimkan tulisan-tulisannya.
Tahun berikutnya, Trimurti terus melahirkan majalah dan surat kabar. Mulai dari Bedug, majalah berbahasa jawa, yang kemudian beralih nama menjadi Terompet yang berbahasa Indonesia, lalu Suara Marheni, media massa yang ditujukan untuk kaum perempuan hingga pada 1938, Trimurti mendirikan majalah Pesat bersama suaminya, Sayuti Melik.
Sekitar tahun 1939, majalah Pesat dibredel dan Trimurti harus berurusan dengan otoritas militer karena aktivitas persnya dinilai menyudutkan Jepang. Akibatnya, Trimurti harus mendekam di penjara Blitar sampai tahun 1943.
Pada 1960, Trimurti kembali aktif menulis di Harian Rakjat (surat kabar Partai Komunis Indonesia) dan di Api Kartini (Jurnal milik Gerwani, sebelumnya dikenal dengan Gerwis – Gerakan Wanita Sedar) dengan nama pena Mak Ompreng. Kata “ompreng” menurut KBBI memiliki arti besek kecil tempat menaruh nasi dan lauk pauk. Trimurti agaknya ingin bermain kata sambil memperjuangkan emansipasi serta hak-hak perempuan dalam pernikahan dengan cara jenaka.
Di tahun 1972, Trimurti menerbitkan majalah kebatinan berjudul Mawas Diri.
Nama “Trimurti” sebenarnya hanya nama pena. Nama “Karma” dan “Trimurti” digunakan sebagai nama samaran secara bergantian untuk menghindari delik pers pada masa kolonial Belanda. Lama-kelamaan, nama ini pun menjadi bagian identitas pers Trimurti.
Herawati Diah
Jurnalis perempuan pertama Indonesia yang meraih pendidikan formal sebagai jurnalis.
Herawati berkesempatan mengecap pendidikan tinggi. Lepas dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, ia bersekolah di American High School di Tokyo, Jepang. Setelah itu, Herawati berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar Sosiologi di Barnard College yang berafiliasi dengan Universitas Columbia, New York dan lulus pada tahun 1941.
Herawati pulang ke Indonesia pada 1942 dan mulai bekerja sebagai wartawan lepas untuk United Press International serta penyiar radio Hosokyoku. Pada tahun 1955, Herawati mendirikan The Indonesian Observer, bersama suaminya, B.M. Diah. Surat kabar tersebut merupakan koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Diterbitkan dan dibagikan pertama kali dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa barat.
Berkat jasa dan keaktifannya di dunia jurnalistik, Persatuan Wartawan Indonesia menganugerahinya dengan titel Lifetime Achievement Award pada tahun 2011.
___
Berkat mereka, saat ini sudah mulai banyak perempuan yang berkiprah di dunia kerja jurnalistik dengan profesi yang beragam seperti Station Manager, Program Director, Music Director, Creative Content, News Anchor, Script Writer, Reporter, dan lainnya.
Bahkan terdapat kemajuan dimana terdapat setidaknya 15 perempuan yang menjadi pemimpin redaksi atau pendiri media mainstream. Beberapa di antaranya, yaitu;
-
Rosianna Silalahi, Pemimpin Redaksi KompasTV
-
Najwa Shihab, Pendiri Narasi TV
-
Uni Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times
-
Devi Asmarani & Hera Diani, Pendiri Magdalene.co
-
Irna Gustiawati, Pemimpin Redaksi Liputan6
-
Titin Rosmasari, Pemimpin Redaksi Trans7 & CNN Indonesia.
Meskipun sudah mulai banyak perempuan yang berkiprah di dunia kerja jurnalistik. Nyatanya masih banyak jurnalis perempuan yang rentan terkena diskriminasi dan pelecehan atau kekerasan seksual saat melakukan pekerjaannya.
Sehingga masih diperlukan upaya peningkatan proporsi perempuan di pimpinan redaksi atau manajemen untuk menyuarakan pandangan serta masukan dan membuat kebijakan yang berperspektif gender, baik untuk kebijakan secara internal atau kebijakan penyaluran berita.
Mengutip Rosianna Silalahi dalam webinar Kesetaraan Gender dalam Redaksi (13/08/2020), “Tugas kita adalah memastikan perempuan turut mengambil bagian dan mengikuti kompetensi di bidangnya masing masing, hal ini tentu juga harus didukung dengan ilmu dan kapasitas yang baik. Terkait dengan pemberitaan kasus yang dialami korban perempuan, kita juga harus memastikan agar seluruh posisi di ruang redaksi, mulai dari hulu harus memiliki kepekaan untuk melindungi korban.”
Selamat Hari Pers Nasional 2021!
9 Februari 2021
Tiara Tri Hapsari
Referensi:
https://tirto.id/menjadi-jurnalis-perempuan-pertama-secara-otodidak-b3jw
https://tirto.id/sejarah-hidup-ani-idrus-jurnalis-pers-perempuan-pelintas-zaman-emim
https://tirto.id/kisah-sk-trimurti-mengagumi-dan-mengkritik-sukarno-ejgB