Apa Hubungan Kesetaraan Gender di Tempat Kerja Dengan Keberlanjutan Iklim?
Desember 24, 2023Empat Paradoks yang Digunakan Perempuan untuk Mengatasi Norma Gender dalam Kepemimpinan
Desember 24, 2023Photo by Yan Krukau
Apa Itu ‘Motherhood Penalty’?
Pada tahun 2001, istilah Motherhood Penalty pertama kali dituliskan dalam studi The Wage Penalty for Motherhood oleh Michelle Budig dan Paula England. Motherhood Penalty merupakan kerugian sistematis dalam hal gaji, tunjangan, perekrutan, cuti, dan promosi yang dihadapi perempuan di tempat kerja ketika perempuan menjadi ibu1.
Motherhood Penalty didasarkan pada pandangan stereotip bahwa perempuan adalah pengasuh utama dan memiliki kewajiban untuk tinggal di rumah serta membesarkan anak-anak. Maka dari itu ketika perempuan yang sudah memiliki anak dan ingin kembali ke tempat kerja, dianggap kurang kompeten atau berkomitmen terhadap pekerjaannya.
Menurut sebuah studi tahun 2018 oleh Kelton Global, yang dilakukan oleh Bright Horizons, 72 persen ibu dan ayah yang bekerja percaya bahwa perempuan diberikan sanksi dalam karier mereka karena memulai keluarga, sementara laki-laki tidak. Akibatnya, bagi perempuan yang belum berkeluarga, hal ini membuat mereka harus memilih antara berkeluarga atau berkarier, tidak keduanya.
Di tengah pandemi COVID-19, sekitar 34 persen laki-laki yang sudah memiliki anak mengatakan bahwa mereka telah menerima promosi (pada tahun 2020), sementara hanya 9 persen perempuan yang sudah memiliki anak dipromosikan2.
“Laki-laki sering diberi penghargaan ketika mereka menjadi ayah karena pemberi kerja melihat laki-laki yang memiliki anak dan keluarga lebih dapat diandalkan atau seorang pencari nafkah yang pasti akan hadir untuk melakukan pekerjaan,” kata Misra, seorang profesor sosiologi dan kebijakan publik di Universitas Massachuset. “Sementara itu, mereka mungkin menganggap ibu tidak bisa diandalkan.”
Persepsi tersebut membuat Ibu yang bekerja menjadi kurang percaya diri tentang peran profesional mereka meskipun faktanya 74 persen mengatakan mereka bekerja karena mereka mencintai karier mereka3. Data Pew Research tahun 2020 menunjukkan bahwa beberapa bahkan gugup memberi tahu pemberi kerja mereka bahwa mereka hamil.
Dalam upaya mengurangi bias dan stereotip gender, termasuk memberi kesempatan bagi perempuan berkeluarga untuk tetap bekerja, pemerintah menerapkan langkah kesetaraan gender dalam kebijakan. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 13 tahun 2003 yang terdapat larangan diskriminasi. Pada UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 5 berbunyi “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”, dan Pasal 6 berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Apa Saja Sanksi yang Dikenakan Pada Ibu Bekerja?
1. Persepsi pada Kompetensi
Beberapa penelitian mengatakan bahwa peran sebagai ibu menjadi status yang dipertimbangkan di banyak tempat kerja dan menghasilkan evaluasi kompetensi yang bias. Bahkan sebuah studi menunjukkan bahwa evaluator memberikan peringkat kompetensi seorang ibu 10 persen lebih rendah daripada perempuan lajang. Beberapa evaluasi mencakup persepsi bahwa:
-
Ibu lebih setia kepada anak-anak mereka daripada pekerjaan sehingga dianggap tidak bisa menjadi pekerja yang ideal.
-
Para ibu akan berhenti bekerja ketika anak mereka sakit atau jika mereka tidak dapat menemukan tempat penitipan anak.
-
Para ibu khawatir tentang pengaturan janji dengan anak-anak mereka yang dapat mengurangi produktivitas pekerjaan.
-
Para ibu akan membutuhkan lingkungan kerja yang fleksibel seperti bekerja dari jarak jauh atau penukaran jam kerja untuk merawat anak-anak mereka.
“Bias ini mengarah pada keyakinan bahwa dalam beberapa hal, peran sebagai ibu dan tugas yang terkait berkompetisi dengan perusahaan,” jelas Misra, seorang profesor sosiologi dan kebijakan publik di Universitas Massachuset.
2. Bias dalam Perekrutan
Setiap orang pasti memiliki bias terhadap pilihan mereka mengenai suatu hal, baik itu disadari ataupun tidak. Tidak terkecuali pada proses perekrutan. Bias pada perekrutan berdampak pada pembatasan pemilihan kandidat dan mempersempit kesempatan kandidat potensial di pasar kerja yang disebabkan beberapa kualifikasi mengarah pada diskriminasi.
Sebagai contoh, ketika proses rekrutmen pemberi kerja menerima lamaran kerja dari kandidat perempuan yang sudah memiliki tiga anak, pemberi kerja beranggapan bahwa kandidat akan sibuk dengan kewajiban keluarga dan tidak fokus pada pekerjaan (Knocker, 2021) sehingga pemberi kerja menghindari mempekerjakan kandidat tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa manajer perekrutan lebih kecil kemungkinannya mempekerjakan ibu daripada perempuan lajang. Dampaknya, banyak ibu yang membuat resume fiktif. Dari 2007 hingga 2015, praktik bias dalam perekrutan masih dilakukan. Pada tahun 2015, Universitas Toronto membuat sebuah studi The Motherhood Penalty and Maternity Leave Duration: Evidence from a Field Experiment, menemukan bahwa kemungkinan perempuan menerima panggilan kembali dari pemberi kerja berkurang karena pertimbangan kemungkinan cuti melahirkan.
3. Kesenjangan Upah
Perempuan cenderung mendapatkan pemotongan upah atau penurunan pangkat ketika menjadi seorang ibu, sementara laki-laki cenderung mendapatkan kenaikan upah dan promosi ketika mereka memiliki anak. Salah satu alasan kesenjangan upah terjadi adalah bias gender. Perempuan yang hamil dan baru memiliki anak dipandang kurang kompeten dan kurang berkomitmen dibandingkan pekerja lainnya.
Sebanyak 40 persen perempuan Indonesia meninggalkan dunia kerja karena menikah dan mengasuh anak dan berpindah menjadi pekerja perawatan tak berbayar4. Mayoritas ibu, bekerja paruh waktu yang upahnya memiliki rata-rata lebih sedikit daripada kerja penuh waktu. Selain itu, bekerja paruh waktu juga mengurangi peluang mereka untuk dipromosikan.
Saat ini, dampak Motherhood Penalty yang paling signifikan ada pada penghasilan ibu yang bekerja. Menurut National Women’s Law Center (NWLC), perempuan hanya mendapatkan 75 sen dari setiap dolar yang diperoleh laki-laki. Dengan kesenjangan gaji tersebut, Ibu yang bekerja kehilangan $1.275 per bulan, atau $15.300 per tahun. Selain itu, para pemimpin dilaporkan:
-
Menawarkan gaji yang lebih rendah kepada ibu yang bekerja daripada perempuan lajang.
-
Menawarkan ‘bonus ayah’ kepada ayah yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan mereka.
-
Mempekerjakan kembali pekerja yang diberhentikan alih-alih memanggil kembali ibu bekerja yang sedang cuti.
Ibu yang bekerja bahkan diberikan sanksi sesuai dengan jumlah anak yang dimilikinya. Third Way melaporkan bahwa ibu yang bekerja kehilangan empat persen penghasilan mereka untuk setiap anak yang dimiliki. Kebalikannya berlaku untuk ayah yang bekerja, mereka mendapatkan enam persen dari gaji dengan setiap anak. Hal ini mengakibatkan Motherhood Penalty mencapai 80 persen dari kesenjangan upah gender dan menahan perempuan ketika mereka mencoba untuk memiliki anak sekaligus mengejar karier.
4. Kemajuan Karier
Bias yang tercipta karena peran sebagai ibu, tidak hanya menghambat perempuan ketika perekrutan tetapi juga perempuan ketika ingin terus memajukan karier mereka. Satu pertiga pemberi kerja percaya bahwa perempuan hamil dan ibu bekerja pada umumnya kurang tertarik pada kemajuan karier mereka5.
Berikutnya pada sebuah studi terhadap 165.000 karyawan di beberapa perusahaan Amerika Serikat menemukan hubungan yang kuat antara rendahnya jumlah perempuan dalam manajemen dan Motherhood Penalty. Perempuan usia 25 sampai 40, yang berkorelasi dengan usia subur perempuan (25 sampai 34), kemungkinan besar akan meninggalkan angkatan kerja.
Sementara itu, 77 persen ibu yang bekerja mengatakan bahwa mereka mengalami diskriminasi di tempat kerja6. Pekerja perempuan yang akan mengambil cuti melahirkan, mengatakan bahwa mereka tidak menerima dukungan formal apapun selama masa transisi cuti mereka (95%), tempat kerja tidak memiliki kebijakan formal seputar cuti melahirkan dan kembali bekerja (58%), dan hanya kurangnya informasi tentang hak dan akomodasi mereka untuk menyusui dan memompa ASI (10%)7. Akibatnya, para perempuan mempertimbangkan untuk berhenti setelah mengambil jeda karier.
Laporan-laporan ini memperlihatkan adanya perbedaan persepsi dan perilaku antara pemberi kerja dan pekerja yang merugikan keduanya. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang sementara perusahaan kehilangan keberagaman talenta yang dapat berkontribusi pada kemajuan.
5. Penalti Fleksibilitas
Berbagai hambatan yang dihadapi perempuan ketika kembali bekerja setelah memiliki anak. Menawarkan cuti melahirkan dan pengaturan kerja fleksibilitas menjadi faktor penting untuk menantang hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan. Tetapi, bekerja secara fleksibel sebagai seorang ibu bisa menjadi pedang bermata dua, sehingga diperlukan penyesuaian kebijakan dalam setiap kasus.
“Perempuan yang mengambil keuntungan dari fleksibilitas pekerjaan, atau yang telah mengambil jeda karier ketika anak-anak mereka masih sangat kecil, terkena sanksi jangka panjang. Dibutuhkan waktu hingga enam tahun untuk kembali ke level mereka sebelum jeda karier,” tulis Women at Work dalam laporan yang dirilis The Female Lead tahun 20218.
Apa yang Bisa Dilakukan Untuk Mengatasi Motherhood Penalty?
Selama beberapa tahun, perempuan telah secara drastis meningkatkan investasi dalam pendidikan dan pekerjaan dengan harapan anggapan bahwa Motherhood Penalty akan hilang. Namun, tersedianya akses ke pendidikan dan pekerjaan bukan menjadi satu-satunya solusi.
Secara individu, kembali ke tempat kerja setelah memiliki anak memberikan kegelisahan dan kecemasan tersendiri bagi para ibu. Mereka memiliki pemikiran bahwa mengejar karier profesional dapat memberdayakan mereka untuk menjadi ibu yang lebih baik, tetapi secara bersamaan ibu bekerja juga merasa dibebankan sepenuhnya untuk menyeimbangkan kehidupan keluarga.
Pemerintah, institusi dan beberapa perusahaan swasta mulai sangat sadar akan isu Motherhood Penalty dan bersedia mendukung ibu bekerja, meskipun beberapa masih melihat upaya mengatasi isu ini sebagai ‘biaya yang mahal’. Tentu saja hal ini perlu segera ditangani untuk menghindari diskriminasi terhadap ibu bekerja.
Terdapat langkah-langkah afirmatif yang dapat dilakukan oleh pemberi kerja dan sesama rekan kerja untuk menyambut kembali perempuan yang kembali dari jeda karier dengan tangan terbuka, bersamaan dengan menciptakan lingkungan di mana para ibu bekerja ingin tinggal.
1. Mengurangi Bias dalam Lingkungan Kerja
Solusi dasar terhadap isu Motherhood Penalty terletak pada perubahan budaya kerja yang sudah ada. Secara berkala memastikan bahwa budaya di tempat kerja peka terhadap bias gender dan menjunjung inklusivitas bagi setiap individu. Ciptakan rasa hormat sesama rekan kerja dan berikan kepercayaan bagi setiap individu untuk menjadi diri mereka sendiri serta menjalankan peran mereka tanpa konsekuensi negatif.
2. Sesuaikan Kebijakan dan Fasilitas
Dalam menarik dan mempertahankan talenta terbaik, maka pemberi kerja perlu membuat kebijakan yang mendukung orang tua dan menyesuaikan dengan tahapan kehidupan karyawan. Menerapkan kebijakan cuti yang inklusif antara ibu dan ayah akan membantu menormalkan pengasuhan di tempat kerja.
Kebijakan harus dilihat sebagai penyesuaian jangka panjang bagi pemberi kerja, bukan tindakan jangka pendek. Misalnya seperti fleksibilitas bekerja dari rumah atau fleksibilitas secara waktu yang sebelumnya dilakukan selama pandemi COVID-19 yang saat ini justru perlahan berubah kembali bekerja sepenuhnya di kantor.
Pemberi kerja juga perlu meninjau ulang kebijakan seputar fleksibilitas agar disesuaikan dengan kebutuhan setiap kasus. Sebab, beberapa kebijakan tidak bisa diimplementasikan sama ke semua pekerja. Jangan sampai kebijakan fleksibilitas yang tujuannya memberikan dampak positif, berbalik menjadi dampak negatif. Terlebih jika kebijakan tersebut disalahgunakan.
Pemberi kerja bisa mempertimbangkan kebijakan dan fasilitas yang menunjang ibu yang baru kembali dari cuti melahirkan. Misalnya seperti memberikan tunjangan pengasuhan anak, bermitra dengan fasilitas penitipan anak, atau menyiapkan ruang menyusui.
3. Terapkan Returnship Program
Returnship Program dapat membantu perempuan kembali ke tempat kerja bersamaan dengan memastikan mereka mampu mengembangkan keahlian-keahlian sebelum atau melebihi yang sudah dicapai. Program dapat berupa pelatihan dan magang.
Dalam laporan Women in the Workplace tahun 2019, para pemimpin perusahaan melaporkan bahwa mereka yakin Returnship Program telah membantu mempertahankan dan mengembangkan talenta perempuan. Oleh karena itu, mendorong perempuan kembali ke dunia kerja setelah memiliki anak telah berkontribusi pada representasi perempuan di tingkat C-Suite.
4. Beri Dukungan Profesional Menuju Kepemimpinan
Seperti yang dilaporkan oleh McKinsey pada tahun 2020, perusahaan dengan lebih banyak eksekutif perempuan cenderung mengungguli perusahaan dengan lebih sedikit perempuan di posisi senior. Mengingat bahwa perempuan usia produktif (15-64 tahun) di Indonesia adalah setengah dari populasi, pemberi kerja tidak dapat mengabaikan talenta-talenta ini.
Studi dari Bright Horizons pada tahun 2018 melaporkan bahwa 89 persen responden setuju bahwa ibu yang bekerja dalam peran kepemimpinan memiliki keterampilan yang terbaik dalam diri mereka, yaitu keterampilan mendengarkan dan manajemen waktu yang lebih baik.
“Kenyataannya membesarkan anak seperti program pelatihan elit untuk kepemimpinan bisnis,” kata Joeli Brearley, penulis buku Pregnant Then Screwed: The Truth About the Motherhood Penalty and How to Fix It. “Mereka belajar kesabaran, kecerdasan emosional, toleransi, cara memberi dan menerima umpan balik, cara memotivasi orang lain, cara meningkatkan produktivitas, dan cara melakukan banyak tugas.”
Melihat tren saat ini, pemimpin dengan ciri-ciri yang secara tradisional dengan feminitas seperti empati, pengasuhan, dan kolaborasi, lebih dibutuhkan dari sebelumnya. Hal ini juga dapat menjadi pertimbangan untuk mempromosikan perempuan, termasuk ibu bekerja, ke posisi kepemimpinan dan memberikan mereka dukungan yang dibutuhkan.
Motherhood Penalty dapat mempengaruhi perempuan ketika mereka berusaha menaiki tangga karier. Selain itu, hal itu juga dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menciptakan masa depan keuangan yang aman. Motherhood Penalty adalah kenyataan yang dihadapi banyak perempuan. Memahami bagaimana sanksi ini diberikan kepada ibu dan bagaimana hal itu mempengaruhi karier mereka, — penting bagi semua pihak untuk mulai menyadari dan melakukan langkah afirmatif dalam mendukung ibu bekerja.
Sumber:
1Fortuna, S. (2020, August 26). Not in the same boat: Career progression in the pandemic. Qualtrics. https://www.qualtrics.com/blog/inequitable-effects-of-pandemic-on-careers/
2ibid
3Modern Family Index 2018. (2018). Bright Horizons.
4Addati, L., Cattaneo, U., & Pozzan, E. (2022). Care at work: Investing in care leave and services for a more gender equal world of work.
5Adams, L., Winterbotham,M. et. al. (2016). Pregnancy and Maternity-related Discrimination and Disadvantage: Experiences of Employers. Department for Business, Innovation and Skills and Equalities and Human Rights Commission.
6ibid
72021 Maternity Leave Experience Report. (2021). Moms at Work.
8Apter, T. (2021). Women at Work: Breaking Free of The ‘Entitled Mindset’.
14 Februari 2023 | Tiara Tri Hapsari