Devi Asmarani: Membumikan Feminisme Melalui Media
Desember 24, 2023Fasilitas TPA di PT Unilever Indonesia
Desember 24, 2023Bergelut dengan dunia perempuan selama lebih dari sepuluh tahun, Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan 2015-2019, masih sering risau akan kecenderungan masyarakat, yang tidak paham kebutuhan perempuan sehingga melanggengkan patriarki.
Ditemui di sela-sela diskusi Konser Perempuan Untuk Kemanusiaan di sebuah restoran di bilangan Cikini, Mariana menjelaskan bahwa dirinya harus sering datang ke acara sosial agar teman-teman merasakan dukungan dari pemerintah. Sebagai perwakilan Komnas Perempuan yang hadir di sidang International People’s Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda, bulan November 2015, Mariana memiliki hubungan cukup dekat dengan perempuan penyintas tragedi 1965 dan komunitas pendukungnya. Bintang utama acara Konser Perempuan Untuk Kemanusiaan adalah Dialita, paduan suara para perempuan penyintas tragedi 1965 dari generasi pertama atau kedua. Komnas Perempuan sendiri memiliki gerakan Mari Bicara Kebenaran yang salah satunya memfokuskan pada sejarah 1965.
Kerisauan terhadap isu perempuan sebenarnya dimulai sejak SMP ketika Mariana menyaksikan pelecehan seksual yang dialami temannya. “Aku langsung marah dan ngamuk,” ujar Mariana. Kejadian tersebut menjadi relevan saat Mariana membaca buku Memoar Seorang Doktor Perempuan dan Perempuan di Titik Nol karya Nawaal El Saadawi di bangku kuliah. Penulis ini berhasil menggugah Mariana dengan otoritas tubuh perempuan. Kenapa organ reproduksi perempuan yang sudah diberikan Tuhan justru menjadi objek kekerasan seksual. Dari situlah dimulai pemikirannya mengenai isu-isu feminism dan objektivitas perempuan.
Beban Ganda Perempuan
Beban ganda adalah beban pekerjaan yang lebih berat dan diterima salah satu jenis dibanding jenis kelamin yang lain. Pudjiwati dalam bukunya yang berjudul Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa menyatakan bahwa sebagai perempuan, ada dua peran yang harus dilakukan, sebagai ibu rumah tangga yang secara reproduktif bekerja mendukung kaum pria mencari penghasilan dan sebagai pencari nafkah yang langsung menghasilkan pendapatan.
Beban ganda menjadi momok yang dirasakan seluruh perempuan di seluruh lapisan masyarakat dan seringkali membuat dilema akan keharusan memilih antara keluarga atau karir. “Di awal karir, perempuan dan lelaki punya kebutuhan yang sama. Tapi ketika menikah, kebutuhan keduanya berubah. Terutama perempuan yang menjadi ibu. Dia harus berusaha tiga sampai empat kali lipat lebih keras agar bisa meluncur secepat lelaki,” Mariana menjelaskan. Di tahap ini seharusnya lingkungannya mengerti kebutuhan ibu bekerja.
“Sebelum membuat kebijakan di tempat kerja, pertama kita harus tahu kebutuhan perempuan. Apa yang dibutuhkannya saat di masa-masa reproduksi, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Kebijakan itu bisa dikonsultasikan dengan dokter atau pakar-pakar kesehatan perempuan yang berhubungan dengan reproduksi.”
Pentingnya Memahami Kebutuhan Perempuan
Tenaga kerja perempuan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik di tahun 2018 mencapai 55.4% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah 133.94 juta orang. Jumlah ini seharusnya menjadi pemahaman perusahaan bahwa kebutuhan perempuan patut diantisipasi untuk produktivitas pekerja. “Masak perempuan semuanya mau dibikin di rumah saja? (Tidak bekerja) Negara ini akan rugi. Perusahaan juga rugi. Lebih baik kita berikan fasilitas yang mendukung perempuan saat masa reproduksi,” tegas Mariana.
Bagi Mariana, menyediakan tempat penitipan anak dan ruang laktasi adalah suatu kewajiban untuk perusahaan. “Seperti halnya toilet, selalu tersedia di restoran dan kantor. Karena semua orang tahu, manusia butuh ke kamar mandi. Bagaimana cara melihat kebutuhan perempuan sebagai manusia dalam masa reproduksi itu seperti orang ke toilet? Ketika sudah biasa, orang akan bertanya, ‘Kenapa enggak ada tempat menyusui? Kenapa enggak ada tempat penitipan anak?’ Pemahaman biologis kita saat ini baru persoalan buang air besar dan kecil.”
Mariana berharap di masa depan semua orang bisa melihat kebutuhan perempuan dalam masa reproduksi sebagai kebutuhan biologis, bukan sebuah keistimewaan. “Ini akibat kita sudah terbiasa didominasi lelaki,” celetuk Mariana. Bila kesadaran sudah muncul, Mariana yakin fasilitas dan lingkungan pun akan lebih siap lalu serta merta beban perempuan pekerja menjadi jauh lebih berkurang.