Motherhood Penalty Mempengaruhi Karier Perempuan
Desember 24, 202398,5 Persen Perempuan yang Mengambil Jeda Karier Ingin Kembali Bekerja
Desember 24, 2023Gambar dari Freepik
Harvard Business Review melakukan wawancara ekstensif dengan 64 pemimpin perempuan senior di tingkat Vice President atau lebih tinggi dari 51 organisasi berbeda di Amerika Serikat. Wawancara ini menemukan bahwa ada empat paradoks yang mereka gunakan untuk mengatasi norma gender pada kepemimpinan, yaitu;
Menuntut namun peduli.
Para eksekutif perempuan mengatakan bahwa mereka harus menuntut kinerja tinggi dari anggota tim, sekaligus menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap kesejahteraan anggota tim. Misalnya, seorang supervisor perempuan secara terbuka berbicara tentang target yang harus dicapai pada kuarter tersebut dan bagaimana kinerja tim perlu ditingkatkan. Sementara itu, supervisor perempuan diharapkan untuk tetap peduli dengan menanyakan keadaan anggota timnya, kendala apa yang mereka hadapi, dan apa yang bisa dikerjakan bersama.
Berwibawa namun partisipatif.
Di satu sisi, pemimpin perempuan belajar untuk “tegar”, “berbicara lebih lantang”, dan “bertindak tegas” untuk memperlihatkan otoritas dan kredibilitas. Di sisi lain, agar tidak dianggap arogan, pemimpin perempuan juga harus cepat mengakui kelemahannya sendiri dan bekerja sama dengan orang lain. Misalnya, seorang manajer perempuan harus mengatur dan mungkin menurunkan laju kerjanya untuk mendorong anggota timnya dan memastikan bahwa mereka memiliki keselarasan.
Mengadvokasi diri mereka sendiri namun melayani orang lain.
Melibatkan pemenuhan kebutuhan diri dan tujuan orang lain karena jika hanya berfokus pada satu sisi dapat menyebabkan masalah serius bagi perempuan. Misalnya, seorang eksekutif perempuan berbagi pengetahuannya dengan orang lain, namun kemudian berakhir dengan dimanfaatkan oleh orang lain. Sebaliknya, ketika seorang eksekutif perempuan dianggap hanya mempromosikan tujuannya sendiri, dia dianggap agresif dan memungkinkan dikeluarkan dari tim kepemimpinan.
Menjaga jarak namun tetap bisa didekati.
Dalam upaya membangkitkan rasa hormat, pemimpin perempuan cenderung menjaga jarak dari orang lain untuk menjaga gambaran “profesional”, “objektif”, dan “serius”. Namun pada saat yang sama, mereka memperhatikan bahwa hal tersebut dapat menciptakan kesan kaku dan apatis, sehingga sulit untuk mendapatkan kepercayaan dan komitmen. Demi menjembatani ini, banyak yang secara eksplisit dan tegas memperlihatkan sosok yang “hangat”, “ramah”, “bersahabat”.
Misalnya, CEO perempuan mencoba untuk berpakaian sedikit lebih formal daripada karyawannya. Namun pada hari Jumat, CEO tersebut berpakaian sangat informal untuk menunjukkan bahwa dirinya juga tidak kaku. Hal ini membuat karyawan dapat secara terbuka berbicara dengan namun tetap ada sedikit jarak yang coba dipertahankan.
Paradoks di atas secara tidak langsung adalah bentuk penggabungan sifat maskulin dan feminine dalam kepemimpinan. Supaya berhasil melakukan beberapa paradoks tersebut, para pemimpin perempuan perlu menyadari hambatan dan kebutuhan dalam diri sendiri sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan ketahanannya sebagai pemimpin.
Berikut lima langkah yang dapat dilakukan:
Beradaptasi dengan situasi
Misalnya, untuk menjaga jarak namun mudah didekati, seperti seorang manajer umum di sebuah perusahaan manufaktur bercerita: “Saya secara khusus duduk di ruangan saya pada waktu-waktu tertentu dan bekerja di kubikel tim. Saya ingin mengirimkan sinyal bahwa saya juga salah satu bagian dari tim. Tetapi di lain waktu, saya tetap objektif dalam mengambil keputusan.
Bersikap hangat (peduli dan kolaboratif) untuk menjadi tangguh (menuntut dan mengarahkan).
Seperti seorang manajer umum di sebuah perusahaan jasa keuangan: “Saya membangun hubungan baik dengan tim sehinga ketika saya mengadvokasi sesuatu, tim biasanya berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu bagaimana membantu saya menyelesaikannya.
Carilah solusi menang-menang.
Seperti seorang manajer umum di layanan kesehatan, menggambarkan pola pikirnya sebagai berikut: “Yang paling penting adalah memahami apa nilai-nilai, sifat-sifat, tujuan dari orang yang ingin kamu pengaruhi. Jadi saya selalu berusaha untuk mengetahui apa yang ingin saya capai dan menggabungkan ke sesuatu yang saya tahu ingin mereka capai.”
Bersikap keras pada tugas dan lembut pada orang.
Seperti seorang eksekutif strategi di perusahaan agensi: “Saya belajar bahwa kami bisa sangat tidak setuju pada suatu masalah, dan ketika kami keluar ruangan, kami berteman kembali. Saya benar-benar menyadari pentingnya untuk bisa memisahkan itu.”
Bingkai ulang sifat-sifat yang diasosikan lebih pantas jadi pemimpin.
Fokus pada sifat yang yang mungkin dianggap kelemahan tetapi sesungguhnya bisa menjadi kekuatan. Misalnya, seorang presiden direktur di sebuah perusahaan manufaktur menjelaskan, “Saya sangat percaya diri untuk mengatakan ’Saya tidak tahu jawabannya tetapi saya ingin tahu’ atau ’Saya tidak tahu jawabannya tetapi saya tahu saya memiliki kemampuan untuk mencari tahu.”
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemimpin perempuan menghadapi kebutuhan untuk menjadi hangat (secara tradisional diharapkan masyarakat dari perempuan), serta kompeten atau tangguh (secara tradisional diharapkan masyarakat dari laki-laki).
Sebagai pemimpin perempuan yang menghadapi ikatan ganda (double bind), mereka perlu mencari cara untuk mengelolanya. Mengurangi ikatan ganda ini juga membutuhkan perubahan ekspektasi dari masyarakat tentang menjadi seorang perempuan dan apa yang diperlukan untuk menjadi pemimpin. Organisasi harus membuat perubahan sistematis untuk dapat melakukan penilaian berdasarkan kinerja dan menyediakan langkah afirmatif dalam kepemimpinan mereka.
27 Februari 2023 | Tiara Tri Hapsari