Pengaruh Ayah Memainkan Peran Besar dalam Perkembangan Anak Perempuan
Desember 24, 2023Singkirkan Pendekatan Tradisional dalam Mencegah dan Menangani Kasus Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Desember 24, 2023Photo by Freepik
Perempuan semakin dihadapkan pada berbagai tantangan ketika sedang berusaha mencapai puncak karir. Salah satunya adalah stereotipe pada sosok pemimpin. Sering kali ketika bertanya pada seseorang tentang ciri-ciri pemimpin, mereka cenderung menjawab dengan kepercayaan diri, ketegasan, berani mengambil risiko, dan sifat maskulin lainnya yang secara natural ada di dalam diri laki-laki. Tidak heran jika terdapat prasangka tentang laki-laki yang lebih pantas dipilih sebagai pemimpin.
Tantangan sebagai seorang pemimpin ini juga dirasakan oleh Mira Fitria Soetjipto, Head of Human Capital PT Bank BTPN Tbk selama perjalanan karirnya. “Ada banyak tuntutan yang harus kita penuhi, ada beberapa stereotip yang harus kita sesuaikan, ada ekspektasi sosial yang harus kita penuhi,” ungkapnya pada webinar How Women Climb a Corporate Ladder and Manage Conflict (30/09/2021). Dan tantangan tersebut berhasil dilalui oleh Mira karena dirinya mampu mendobrak batasan yang ada di dalam pikirannya dan bagaimana dirinya ingin memahami situasi.
Debby Alishinta, Managing Director dari PT Accenture Indonesia mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, batasan itu ada di dalam diri sendiri dan untuk melaluinya, perempuan harus punya mimpi karena mimpi itu sebanding dengan tujuan hidup, perempuan harus mencintai dan memiliki passion terhadap apa yang dikerjakan, perempuan harus memiliki tekad untuk berusaha mendapatkan apa yang diinginkan.
Tantangan berikutnya likeability trap, yang didefinisikan ketika perempuan terlalu menggunakan sifat feminin, maka dianggap tidak kompeten, tetapi ketika perempuan terlalu menggunakan sifat maskulin, maka dianggap sulit diajak bekerja sama. Padahal seorang pemimpin yang paling ideal adalah yang terus belajar mengembangkan diri dan mampu menggabungkan sifat feminin dan maskulin.
Debby memperhatikan ketika berinteraksi dengan kolega laki-lakinya, mereka cenderung berpikir sederhana, dan dirinya belajar mengaplikasikan hal tersebut ketika menghadapi konflik. “Kalau menurut saya, laki-laki itu straightforward¸ simple dan nggak neko-neko. Ketika saya berinteraksi dengan kolega laki-laki, saya jadi belajar juga dari mereka untuk berpikir simple,” ungkapnya.
Mira juga mengatakan bahwa pemimpin laki-laki itu bisa melakukan sesuatu secara sederhana, tegas dan cenderung tidak melekatkan emosi pada konflik yang terjadi. Berbanding dengan perempuan yang terkadang masih melibatkan emosi meskipun konfliknya sudah selesai.
“Saya rasa itu yang harus kita latih untuk bisa menghapus keterikatan emosi yang berlebihan terhadap sebuah konflik,” tambah Mira.
Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dan juga tidak selamanya buruk. Dengan reaksi yang tepat, konflik dapat menjadi pemicu ide, inovasi, hubungan kerja yang lebih baik, hingga pengembangan diri. Salah satu pengalaman Debby tentang konflik yang memberikannya pelajar penting adalah pada saat ia sedang mengerjakan sebuah proyek. Debby adalah satu-satunya perempuan di dalam tim. Ketika menjelaskan analisanya, seluruh kolega laki-lakinya tidak sependapat.
“Pada saat itu, saya berpikir ada dua situasi dalam menghadapi konflik ini. Kalau saya tidak mau menghadapi konflik, saya akan rugi karena tidak berusaha memperjuangkan pendapat saya atau kalau saya mau maju, satu-satunya cara adalah bernegosiasi,” ungkap Debby.
Kemudian Debby memilih untuk maju dan menjelaskan kembali analisanya secara perlahan. Akhirnya, seluruh kolega laki-lakinya memahami maksud Debby dan mulai sependapat. “It takes time [untuk bernegosiasi] tapi setidaknya saya mencoba dan tidak menyerah. Kalau saja saya memilih menghindari konflik, itu adalah kekalahan besar,” tambahnya.
Sementara itu, salah satu pengalaman konflik Mira berkaitan dengan dilema antara peran domestik dan publik. Pada saat itu, Mira ditawarkan untuk memegang regional position di perusahaan namun dengan syarat pindah keluar negeri. Posisi tersebut adalah impian Mira. Ketika dirinya berunding dengan suami, banyak sekali pertimbangan yang hadir, seperti bagaimana beradaptasi dengan makanan di sana, apakah siap untuk meninggalkan orang tua dan keluarga, serta pekerjaan suami di Indonesia yang tidak memungkinkan untuk ditinggalkan.
“Dan di situ saya merasakan bahwa gender plays a significant difference karena kalau ini dibalik situasinya, kemungkinan saya akan meninggalkan semuanya untuk ikut suami,” jelasnya.
Konflik yang dialaminya memang lebih kepada diri sendiri untuk bisa memutuskan dan menerima keputusannya. “Sometimes you have to make a difficult decision but you have to live with it dan harus tahu keputusan apa yang nantinya tidak akan disesali,” tambah Mira.
Namun bukan berarti suami dari Mira tidak mendukung karir Mira. Restu dari suami adalah salah satu yang membuat Mira bisa berada di posisi yang sekarang sebagai Head of Human Capital PT Bank BTPN Tbk. Penting bagi perempuan untuk berkoordinasi dengan suami untuk memastikan roda karir dan keluarga bisa berjalan dengan baik.
Peran Support System bagi Pemimpin Perempuan
Di dunia kerja, sering kali menemukan pihak yang tidak suka dengan pencapaian perempuan, bahkan terkadang dari sesama perempuan. Hal ini tentu mampu mempengaruhi lingkungan kerja menjadi tidak nyaman. Menghadapi situasi seperti ini, ada banyak caranya. Mulai dari membuktikan dengan kinerja, membicarakan dengan atasan hingga mengklarifikasi langsung kepada pihak terkait.
Sebagai pihak yang masih rentan, perempuan perlu memiliki support system. Bukan hanya dukungan dari keluarga, namun dukungan dari saudara, pasangan, teman, bahkan rekan kerja bisa membantu perempuan memenuhi potensi terbaiknya. Bagi Debby, keluarga adalah salah satu support systemnya. Kinerjanya bisa maksimal hingga menjadi seorang pemimpin itu karena support system nya memungkinkan Debby untuk bekerja dengan baik.
“Untuk mencapai posisi ini [Managing Director] saya tidak sendirian. Banyak orang-orang sekitar saya yang selalu mendukung seperti keluarga dan komunitas,” kata Debby.
Selain dukungan dari suami, Mira juga mengatakan bahwa orang tuanya selalu mengajarkan untuk pantang mundur, bahwa Mira harus memperjuangkan apa yang ia impikan. Tentunya dukungan dari atasannya juga penting dalam membuat dirinya terus berkembang untuk mencapai apa yang Mira inginkan.
Debby dan Mira pun mencoba untuk menjadi support system bagi para pekerja perempuan di perusahaan mereka masing-masing. Mereka percaya bahwa sesama perempuan harus saling membantu, bukan saling menjatuhkan. Jumlah pemimpin perempuan sudah sedikit, jika saling menjatuhkan maka tidak ada yang bisa berkembang.
Maka dari itu, di PT Accenture Indonesia, Debby bekerja sama dengan HR dalam membuat program untuk perempuan agar bisa mengeluarkan potensi mereka dan mempunyai karir yang lebih panjang hingga mencapai senior level management. Sementara itu, PT Bank BTPN Tbk melakukan banyak program diversity and inclusion bersama IBCWE untuk mendukung para pekerja perempuan.
Sebagai penutup diskusi panel, Debby memberikan pesan kepada seluruh perempuan untuk berani memiliki mimpi dan semangat dalam meraihnya, serta jangan takut mencoba.
“Never be afraid to fail. Never afraid of what people think. Harus bisa explore your own passion and just be happy,” pesan Mira kepada seluruh perempuan Indonesia.
Untuk meningkatkan kepercayaan diri para pekerja perempuan dalam menaiki tangga kepemimpinan dan mengelola konflik, IBCWE bekerja sama dengan International Labour Organization mengadakan serial webinar episode 2 dengan judul How Women Climb the Leadership Ladder and Manage Conflicts, pada tanggal 30 September 2021.
Kegiatan ini disponsori oleh United Nations Multi-Partner Trust Funds (UN MPTF) dan didukung oleh One CHRP, Info HR Indonesia. Saksikan tayangan webinar Webinar Series Eps. 2 How Women Climb the Leadership Ladder and Manage Conflicts di Youtube Channel IBCWE.
26 November 2021
Tiara Tri Hapsari